Anggota Komisi VIII DPR RI Dorong Transparansi Biaya Pernikahan di Desa

Cirebon,- Upaya peningkatan kualitas pelayanan pernikahan terus menjadi perhatian berbagai pihak, termasuk peran strategis lebe yang masih hidup dalam tradisi masyarakat, khususnya di pedesaan.
Meski tidak berada di bawah struktur Kementerian Agama (Kemenag), peran lebe yang berada di lingkup pemerintahan desa kerap kali menjadi pendamping utama dalam prosesi pernikahan warga. Namun, peran tersebut kini menjadi sorotan karena adanya ketidaksesuaian informasi terkait biaya pernikahan.
Dalam kegiatan Muzakarah Urusan Islam yang digelar Kantor Wilayah Kemenag Jawa Barat, Kapoksi Komisi VIII DPR RI, Hj. Selly Andriany Gantina menerima berbagai aspirasi masyarakat, salah satunya mengenai biaya pernikahan.
“Masih banyak masyarakat yang belum tahu bahwa biaya pernikahan hanya Rp600 ribu jika ijab qabul dilakukan di luar KUA, seperti di rumah atau gedung. Sementara jika dilakukan di KUA pada hari dan jam kerja, biayanya gratis,” jelas Selly.
Ia menambahkan, informasi yang tidak merata ini memicu kebingungan. Bahkan, masyarakat dari sejumlah kecamatan mengaku membayar biaya pernikahan antara Rp1 juta hingga Rp1,2 juta melalui lebe. Ada juga yang melangsungkan akad di KUA, namun tetap dikenai biaya hingga Rp700 ribu.
“Ini jelas bertentangan dengan aturan. Kita harus merujuk pada regulasi yang berlaku, yaitu PP Nomor 59 Tahun 2018 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) di Kementerian Agama,” tegasnya.
Selly menyebutkan dua poin penting dalam regulasi tersebut, pertama pernikahan yang dilakukan di luar KUA dikenai tarif Rp600 ribu yang masuk sebagai PNBP dan disetor langsung ke kas negara. Kedua, pernikahan di KUA pada hari dan jam kerja tidak dikenai biaya alias gratis.
Temuan di lapangan menunjukkan perlunya regulasi yang lebih jelas terkait status dan fungsi lebe.
“Selama ini, belum ada payung hukum yang secara tegas mengatur peran dan kedudukan lebe. Akibatnya, praktik di lapangan beragam dan menimbulkan potensi kesalahpahaman,” ungkapnya.
Ia menambahkan, status lebe pun tidak seragam. Di beberapa desa, lebe menjadi bagian dari struktur resmi pemerintah desa dan menerima honor, sementara di tempat lain justru tidak demikian.
“Padahal peran mereka sangat krusial. Lebe butuh pembinaan, pelatihan, dan dukungan kesejahteraan agar dapat menjalankan fungsinya secara maksimal,” katanya.
Selly pun mendorong adanya evaluasi menyeluruh terhadap praktik pelayanan pernikahan, termasuk posisi lebe dalam sistem sosial dan keagamaan. Harapannya, ke depan ada regulasi yang lebih tegas agar keberadaan lebe diakui secara resmi, adil, dan mendukung profesionalisme pelayanan.
Sebagai langkah konkret, ia menyarankan agar setiap KUA memasang banner atau informasi resmi mengenai biaya pernikahan sesuai ketentuan.
“Ini penting untuk memberikan edukasi dan transparansi kepada masyarakat agar tidak ada lagi kebingungan soal biaya,” pungkasnya. (HSY)
The post Anggota Komisi VIII DPR RI Dorong Transparansi Biaya Pernikahan di Desa appeared first on About Cirebon.