Ini Sejarah dan Makna Dibalik Perayaan Rabu Wekasan

Semarang – Rabu Wekasan, yang dalam bahasa Jawa dikenal sebagai Rebo Wekasan, adalah tradisi yang sangat dihormati oleh masyarakat Jawa dan biasanya dirayakan pada akhir bulan Safar, menjelang Bulan Maulid yang memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW. Pada tahun ini, perayaan Rabu Wekasan akan jatuh pada Rabu, 4 September 2024, yang bertepatan dengan hari Rabu terakhir di bulan Safar dalam kalender Hijriah, atau bulan Sapar dalam kalender Jawa.

Rabu Wekasan merujuk pada hari Rabu terakhir di bulan Safar, bulan kedua dalam kalender Hijriah, dan juga dikenal sebagai bulan Sapar dalam kalender Jawa. Kata “wekasan” sendiri berarti “akhir” atau “penutupan,” menandakan akhir dari bulan Safar.

Menurut Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS), Rabu Wekasan atau Rebo Pungkasan adalah hari yang dianggap memiliki makna khusus oleh sebagian umat Islam, terutama di kalangan masyarakat Jawa. Hari ini sering dikaitkan dengan berbagai mitos dan kepercayaan, ada yang menganggapnya sebagai hari penuh musibah, sementara yang lain percaya bahwa pada hari ini Allah menurunkan berkah dan perlindungan.

Menurut situs resmi Pemerintah Provinsi Jawa Tengah (Pemprov Jateng), tradisi Rabu Wekasan dilaksanakan dengan tujuan untuk menghindari musibah. Berbagai acara dan kegiatan diselenggarakan dalam rangkaian perayaan ini, yang berbeda di setiap daerah. Biasanya, perayaan diisi dengan khataman Al-Qur’an, doa bersama, selamatan, dan amalan ibadah sunnah lainnya.

Sejarah Rabu Wekasan memiliki beberapa versi. Salah satu versi menyebutkan bahwa tradisi ini sudah ada sejak 1784, di mana seorang kyai bernama Faqih Usman, yang dikenal sebagai Kyai Wonokromo Pertama atau Kyai Welit, memiliki kemampuan dalam ilmu agama dan penyembuhan. Masyarakat percaya bahwa Kyai Faqih mampu menyembuhkan penyakit dengan metode “disuwuk,” yaitu membaca ayat-ayat Al-Qur’an pada air yang kemudian diminumkan kepada pasien.

Kyai Faqih sangat dihormati dan bahkan dipuji oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I. Setelah wafatnya, tradisi ini terus dilanjutkan oleh masyarakat sebagai upaya untuk mencari berkah.

Versi lain menyebutkan bahwa upacara Rabu Wekasan terkait dengan tradisi Kraton Mataram pada masa Sultan Agung di tahun 1600-an. Saat itu, ketika Mataram dilanda wabah penyakit, diadakan ritual tolak bala yang kemudian dikenal sebagai Rabu Wekasan, sebagai doa untuk menolak musibah.

Versi ketiga menceritakan bahwa Kyai Muhammad Faqih dari Desa Wonokromo, yang juga dikenal sebagai Kyai Welit, sering diminta untuk membuat “tolak bala” berupa rajah bertuliskan Arab. Rajah ini dimasukkan ke dalam air yang kemudian digunakan untuk mandi dengan harapan terhindar dari musibah. Tradisi ini kemudian dikenal sebagai malam Rabu Pungkasan atau Rabu Wekasan.

Ada juga pandangan yang menghubungkan Rabu Wekasan dengan penyebaran Islam di Indonesia. Abdul Hamid Quds menyatakan bahwa pada hari Rabu terakhir di bulan Safar, Allah menurunkan 32.000 bala ke bumi. Wali Songo dianggap berperan dalam mengembangkan tradisi ini. Di Desa Suci, Kabupaten Gresik, Sunan Giri memberikan petunjuk untuk menemukan sumber air saat kekeringan dan memerintahkan diadakannya upacara adat Rabu Wekasan.

Dengan sejarah dan makna yang kaya, tradisi Rabu Wekasan terus dilestarikan oleh masyarakat Jawa sebagai bentuk penghormatan terhadap budaya dan kepercayaan yang diwariskan turun-temurun. Makin Tahu Indonesia (ard)

Spread the love

Mungkin Anda juga menyukai

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *